Selasa, 22 Januari 2013

Akulturasi Budaya Jawa dan Cina


 Makan Di Mana 
Akulturasi Budaya Jawa dan Cina



Femina Makan Di Mana

Kata dewa-ndaru sarat makna positif di dalamnya. Dalam epos Ramayana, dewa-ndaru merupakan bunga yang konon bisa menghidupkan pasukan kera yang mati dalam perang melawan Rahwana.
  
Dalam bahasa Jawa, dewa-ndaru juga berarti ketiban ndaru (mendapat rezeki tiba-tiba). Masyarakat Tionghoa pun menyebut dewa-ndaru dengan sian-dho atau tanaman favorit para raja yang diyakini berkhasiat untuk kesehatan.
  
Sederet makna positif tersebut menginspirasi Tedjo Prasetyo (pemilik) untuk mendirikan Dewa-ndaru Culture Resto. Ia menerjemahkannya lewat arsitektur, interior, dan juga makanan yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Cina.
  
Pendopo sebagai ruang makan, dipenuhi properti berseni tinggi dari tanah Jawa, khususnya daerah Lasem. Puncak kesakralan resto ini disebut Tedjo terletak pada rumah Tionghoa abad ke-18 yang berdiri megah sebagai bangunan pajang.
  
Ada hidangan Cina peranakan (Babah Nyonya) seperti Nyonya Harum Aroma Ngo Hiong. Kulit tahu goreng ini berisi daging ayam dan udang berbumbu ngohiong (adas, cengkih, merica, pekak, kayu manis).
  
Yang enak juga adalah Gurami Ngidam Rembulan. Gurami goreng yang disiram sambal mangga muda ini berjodoh dengan Kangkung Telaga Dewa (nama lainnya Kangkung Crispy) berbumbu sambal belacan. Ada pula Bandeng Telur Asin, bandeng cabut tulang bersaus telur asin.
  
Sambil menikmati alunan musik Jawa, nikmati Es Cendol Putri Harum. Berbeda, lho, dari es cendol umumnya karena ada sari kelapa dan daun pandan.  Atau,  seruput Es Pusaka Indonesia, sejenis air beras kencur  dengan tambahan kunyit dan wangi jahe. (BLI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar